Akibat tunggakan ratusan miliar rupiah atas izin penggunaan frekuensi 2,3 GHz, penyedia jasa internet, yakni PT First Media Tbk (KBLV), PT Internux (Bolt) dan PT Jasnita Telekomindo terancam dicabut izin frekuensinya oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi.
Akan tetapi, menurut Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara, pencabutan izin frekuensi belum diputuskan karena PT First Media Tbk (KBLV) dan PT Internux yang membawahi layanan Bolt telah menyerahkan proposal berisi komitmen pelunasan tunggakan kepada pemerintah.
Proposal ini dikirimkan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada Senin (19/11) siang.
"Tadinya hari ini terakhir, tapi tadi pagi saya dapat surat mereka mau bayar. Saya kan tidak bisa memutuskan sendiri, jadi harus bicara dengan Kemenkeu," ujar Rudiantara kepada wartawan di Jakarta, Senin (19/11) sebagaimana dikutipKompas.com.
"Di surat katanya mereka mau bayar. Tapi cara bayarnya bagaimana, nanti dibahas di sana," sambungnya.
Jika nantinya perusahaan-perusahaan itu membayarkan sesuai tunggakannya, Rudiantara memastikan izin frekuensi mereka tak jadi dicabut karena surat keputusan menteri tak dikeluarkan.
Kemudian, kalaupun izin frekuensi dicabut, Rudiantara mengatakan itu hanya berpengaruh pada jaringan broadband Bolt dan layanan internet First MEdia.
Sementara untuk TV kabel First Media dipastikan tidak terganggu. "FM kan tidak hanya mengunakan frekuensi, ada juga yang cable TV itu tidak keganggu. Hanya mobile broadband yang terganggu," kata Rudiantara.Menurut Humas Kemenkominfo, Ferdinandus Setu, dalam proposal ini yang dikirimkan ke Kemenkominfo, baik PT First Media Tbk (KBLV) dan PT Internux menyatakan akan membayar tunggakan yang dibebankan pada tahun 2016 dan 2017. Bahkan perusahaan akan membayar Biaya Hak Penggunaan yang dibebankan sampai 2020 mendatang.
PT First Media Tbk (KBLV) dan PT Internux (Bolt) menunggak kewajiban membayar izin frekuensi radio di 2,3 GHz untuk tahun 2016 dan 2017.
Jumlah tunggakan pokok dan dendanya masing-masing Rp 364.840.573.118 (Rp 364 miliar), sedangkan Bolt mencapai Rp 343.576.161.625 (Rp 343 miliar).
Total tunggakan ditambah denda Biaya Hak Penggunaan frekuensi radio tahun 2016 dan 2017 kedua anak perusahaan Grup Lippo itu mencapai Rp 708 miliar.
Sementara tunggakan plus denda PT Jasnita mencapai Rp 2,197 miliar.
Beda perusahaan, layanan Internet First Media tetap berjalan
Data dari Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika, ada sekitar empat juta pelanggan untuk First Media dan Bolt.
Kedua perusahaan itu melayani pelanggan di Jakarta, Banten, dan Sulawesi Utara. Sementara PT Jasnita Telekomindo, hanya melayani wilayah Manado, Sulawesi Utara.
Hingga Senin sore (19/11) penyedia jasa internet, yakni PT First Media Tbk (KBLV), PT Internux (Bolt) dan PT Jasnita Telekomindo belum bisa dihubungi.
Tetapi, salah satu pelanggan First Media dari Jakarta, Andre Septian mengungkapkan bahwa dirinya mendapatkan surat elektronik dari First Media, yang menyatakan bahwa layanan PT First Media Tbk adalah mengenai lisensi layanan telekomunikasi nirkabel (Broadband Wireless Access 2,3 GHz) dan tidak ada hubungannya dengan layanan dan lisensi PT Link Net Tbk dengan merek dagang First Media.
"Speed (kecepatan) masih sama, saya masih bisa mengakses internet seperti hari-hari sebelumnya," kata Andre.
First Media (PT Link Net Tbk) yang ia maksud adalah layanan internet berbasis TV kabel dan Fixed Broadband Internet berbasis kabel yang menggunakan gabungan kabel serat optik dan kabel koaksial sebagai medium penghantar dan kabel serat optik dari rumah ke rumah.
Pelanggan lainnya, Pascalis Iswari mengatakan bahwa surel pekan lalu dan ia merasa tak khawatir atas pindahnya jasa ke penyedia internet lain.
Pemerhati internet, Ismail Fahmi, mengatakan pencabutan izin penggunaan frekuensi merupakan kerugian untuk pengguna jasa.
"Kita jadi tidak punya trust (kepercayaan), bukan satu atau dua orang, namun jutaan. Ke depannya ketersediaan pelayanan dari operator akan dipertanyakan, operator yang terdaftar saja bisa menunggak seperti itu, akhirnya konsumen lah yang rugi," kata Ismail.
Semakin tinggi frekuensi, semakin cepat internet bisa diakses
Spektrum frekuensi untuk kebutuhan di internet dan telekomunikasi di Indonesia bermacam-macam, mulai dari frekuensi rendah seperti walkie-talkie (hanya untuk berkomunikasi) hingga berfrekuensi tinggi seperti yang digunakan Bolt ataupun First Media.Ia mengatakan semakin tinggi frekuensi semakin cepat pula arus data yang bisa sampai kepada para pengakses internet.
"Berbagai macam aplikasi di internet makin lama makin tinggi resolusinya, membutuhkan bandwith yang tinggi, dan frekuensi 2,3 GHz itu bisa memadai."
Data dari Kementerian Komunikasi dan Informasi per November 2018, sebanyak 160 juta penduduk Indonesia, adalah pengguna internet aktif dengan medium yang bervariasi.
"Lebih dari separuh penduduk Indonesia, namun dari segi kecepatan masih kalah dengan negara-negara lain di Asia Tenggara," kata Fernandikus.
Pada akhir 2018, menurut Kemenkominfo, proyek Palapa Ring akan selesai. Proyek itu membangun infrastruktur tulang punggung jaringan telekomunikasi broadband (pita lebar) berupa pembangunan serat optik dalam tiga wilayah di Indonesia.Nantinya, Palapa Ring akan menghubungkan seluruh Kabupaten dan Kota seluruh Indonesia.
"Awal tahun 2019 akan berpoerasi, diharapkan kecepatannya akan sama dengan internet di Jakarta," tambah Ferdinandus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar