Negara berpenduduk 260 juta orang ini adalah tempat yang sempurna untuk start-up fintech (teknologi finansial), dari penyedia kartu kredit digital hingga sesama kreditur. Hanya separuh dari penduduk berusia di atas 15 tahun memiliki rekening bank, dan hanya 2 persen penduduk yang memiliki kartu kredit.
Bank-bank tradisional tidak tertarik untuk memasuki ruang konsumen dan pinjaman mikro “subprime”. Mereka sudah mendapatkan margin bunga bersih rata-rata 5,1 persen. Mengapa harus melebarkan sayap di negara yang kekurangan biro kredit untuk mengumpulkan data dengan risiko meminjamkan ke peminjam individu?
UANG YANG MUDAH
Pemerintah telah mendukung, sejauh ini. Sebagai bagian dari Go Digital Vision 2020-nya, negara ini mengeluarkan peraturan tentang e-lending paling cepat pada bulan Januari 2017. Orang asing dapat memiliki hingga 85 persen dari startup e-lending, dibandingkan dengan maksimal 49 persen untuk penyedia e-payment, yang tidak memperpanjang kredit.
PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Syariah, yang mengikuti model Grameen Bank Bangladesh (bank ini dan pendirinya, Muhammad Yunus, memenangkan Penghargaan Nobel pada tahun 2006 karena telah menjadi perintis pinjaman-mikro untuk orang-orang ekonomi ke bawah demi memerangi kemiskinan), memberi kita pandangan sekilas tentang bagaimana pinjaman mikro yang menguntungkan dapat terjadi.
Pemberi pinjaman publik biasanya membuat pinjaman satu tahun sebesar 1 juta hingga 2 juta rupiah ($69 hingga $138) dengan suku bunga tetap sebesar 30 persen, setara dengan tingkat persentase tahunan efektif, atau APR, sebesar 51 persen.
Dengan Indonesia masih berada di awal siklus kreditnya, tingkat bunga tetap masih rendah. Hanya 3,3 persen dari peminjam P2P dikelompokkan sebagai mencurigakan pada bulan September, menurut para pembuat peraturan. Jumlah peminjam yang menggunakan platform itu telah melampaui 7 juta.
DEMAM EMAS
Pinjaman peer-to-peer berkembang di Indonesia tahun ini. Pinjaman rata-rata hanya sekitar $140
Perusahaan fintech menggunakan berbagai metrik dari bank. Misalnya, penyedia kartu kredit digital seperti Kredivo akan melihat saldo pembukaan dan penutupan pelanggan alih-alih pendapatan bulanan untuk menilai apakah ia seorang pemboros atau penabung. Mereka juga akan menggunakan data sosial yang dibangun dari daftar kontak: Jika seorang teman gagal bayar, pelanggan dilihat sebagai peminjam berisiko juga.
Ketika satu startup mencapai skala yang cukup, proses uji kelayakan yang hemat biaya ini akan memastikan margin besarnya bunga bersih akan muncul di garis bawah.
Tetapi e-lending di negara berkembang memiliki risiko besar. Ini sering dimulai dengan pemerintah, yang di Indonesia mulai merasa ragu.
Mendapatkan lisensi e-lending ada proses dua tahap. Anehnya, startup dapat mulai membuat kemajuan segera setelah terdaftar dengan Otoritas Jasa Keuangan Indonesia. Tetapi harus mendapatkan izin usaha dalam setahun, atau kehilangan hak ini.
Ini mungkin menjadi masalah untuk startup fintech yang menjamur di negara ini. Diblokir di negara asal, ratusan operator P2P Cina telah mendarat di Jakarta tahun ini. Pengetatan apapun terhadap rezim e-lisensi dapat mengancam mereka. Indonesia telah mengambil tindakan seperti itu: Akhir tahun lalu, perusahaan rintisan yang didanai asing dari GrabTaxi Holdings Pte sampai PT Tokopedia melihat operasi e-money mereka ditangguhkan.
Perhatian perlindungan konsumen juga bisa memangkas hasil besar tersebut. Setelah listing New York senilai $1 miliar pada bulan Oktober tahun lalu, Qudian Inc. China mengalami masalah setelah mengungkapkan bahwa sebagian besar deposit konsumen mikro mereka melebihi batas 36 persen dari pemerintah untuk pinjaman pribadi. Saham Qudian turun lebih dari 80 persen dari harga IPO mereka.
Pengaturan yang longgar, e-lender cenderung memiliki standar risiko kredit lebih longgar daripada bank. Di Cina, ketika seorang peminjam gagal melakukan pembayaran, bank menandai seluruh pinjaman–pokok dan bunga–sebagai buruk. Beberapa pemberi pinjaman P2P hanya akan mempertimbangkan bahwa pembayaran itu adalah gagal bayar. Itu berarti rasio pinjaman buruk mereka bisa menyesatkan.
Hanya 94 juta orang Indonesia yang memiliki rekening bank, hampir sepertiga dari populasi. Potensi pasar untuk e-lender jelas. Pestanya pasti menyenangkan, tapi sampai kapan?
Keterangan foto utama: Muda, tidak memiliki cukup akses ke bank, dan siap untuk meminjam. (Foto: Dimas Ardian/Bloomberg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar