Iman, 37, kerap malu dan risih saat membeli kondom. Alasannya, karena stigma yang melekat dengan alat proteksi dan kontrasepsi itu.
"Kondom itu terkait dengan seks bebas, HIV/AIDS, perzinaan, dan stigma negatif lainnya di masyarakat, padahal sebetulnya tak begitu," ungkap Iman kepada wartawan di Bandung Julia Alazka yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Hal itu membuat bapak dua ini sering kali harus menunggu toko sepi terlebih dahulu untuk membeli kondom, mengatakan "Kalau ramai, suka tak jadi atau cari toko lain, atau lain waktu."
Dia pun lebih memilih untuk membeli kondom di apotek karena merasa kasirnya lebih "paham", menambahkan bahwa ia "Suka merasa akan dianggap akan melakukan perzinaan, kalau beli di minimarket. Padahal mungkin itu cuma perasaan saya saja."
Iman bukanlah satu-satunya pria yang merasa risih saat membeli kondom. Hal serupa juga dirasakan Amahl S, Azwar, penulis blogger yang banyak menulis tentang HIV.
Namun menurut Amahl yang kini menetap di Thailand, situasi ini tidak terjadi di negara lain.
"Kalau di Shanghai, Cina, atau Chiang Mai, Thailand, yang jelas kalau mau beli kondom tidak merasa dipandangi," ujar Amahl.
Rasa risih dan malu sewaktu membeli kondom, menurut Kepala BKKBN Jawa Barat, Teguh Santosa, disebabkan masih kuatnya stigma pada alat proteksi ini.
Stigma itu juga yang menyebabkan minimnya angka pengguna kondom di Jawa Barat. Dari smebilan juta lebih pasangan usia subur, pengguna kondom hanya sekitar 125 ribu atau 1,37 persen.
"Misalnya, orang yang membeli kondom dikesankan oleh masyarakat, 'ah ini mahuntuk selingkuh'. Yang kedua, ada juga pandangan dengan menggunakan kondom rasanya 'gak enak'," papar Teguh.
Kondom dan upaya pencegahan penularan HIV
Kondom bukan hanya berfungsi sebagai alat kontrasepsi, tetapi juga proteksi atas penyakit menular seksual, termasuk HIV.
Amahl, misalnya, tertular virus HIV lantaran berhubungan badan tanpa kondom. Setelah berstatus HIV positif, kondom menjadi alat yang wajib digunakan saat berhubungan.
"Karena selain untuk melindungi pasangan saya, juga untuk melindungi diri saya sendiri. Penyakit menular seksual kan banyak, bukan cuma HIV. Ada Hepatitis B, HPV, dan lain-lain," kata pria 31 tahun ini.
Efektifitas kondom dalam mencegah penularan penyakit mencapai 80% - 90%, jika digunakan dengan benar dan konsisten, menurut dokter yang sering menangani kasus HIV/AIDS, Ronald Jonathan.
"Tapi pencegahan utamanya adalah ODHA minum ARV (obat antiretroviral) secara teratur. Bila viral load tidak terdeteksi maka risiko penularan menjadi amat sangat kecil," jelas Ronald.
Tingkat kesadaran penggunaan kondom masih sekitar 50%
Bagaiamanapun, Ronald menyadari masih ada stigma pada penggunaan kondom yang menyebabkan peningkatan kasus infeksi baru HIV di Jawa Barat.
"Stigmatisasi kondom adalah salah satu dan bukan satu-satunya faktor yang meningkatkan penularan HIV lewat hubungan seks yang berisiko," ujar Ronald.
Hal ini disanggah Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Jawa Barat. Menurut Kepala Sekretariat KPA Provinsi Jawa Barat, Iman Tedja, belum ada data pasti yang mendukung argumen tersebut.
"Buktinya hingga saat ini tidak ada pengaduan terkait pembelian kondom di apotek maupun di minimarket. Sehingga hal ini tidak berdasar dalam penggunaan kondom secara luas," papar Iman Tedja.
Sementara itu, tingkat kesadaran populasi kunci menggunakan kondom masih sekitar lima puluh persen, yang masih jauh dari optimal.
Irma (bukan nama asli), seorang pekerja seks yang masih berusia 17 tahun, mengatakan bahwa beberapa kali ia kesulitan meminta kliennya memakai kondom saat berhubungan seks.
"Ada saja alasannya, pokoknya tak mau pakai, tak enak katanya," tutur Irma yang mengaku pernah tertular penyakit seksual akibat pekerjaannnya.
Situasi serupa dialami Dera, 25, yang lalu berusaha memperingati kliennya dengan mengatakan "aku beresiko tinggi karena aku suka dipakai orang banyak bukan hanya satu."Tingkat penggunaan kondom berdasarkan data Hasil Survey Terpadu Biologis dan Perilaku Tahun 2015 oleh Kemenkes:
- 43,43% Wanita Pekerja Seks (WPS) Langsung (wanita yang menjual seks)
- 40,19% WPS Tidak langsung (yang tidak terdaftar sebagai pekerja seks melainkan dikemas dgn pekerjaan lain seperti SPG, tukang pijat dan pemandu lagu)
- 61,45% Lelaki seks lelaki (LSL, atau gay)
- 55,66% Waria
- 2,50% Penasun (Pengguna narkotika suntik)
- 11,83% Pria Resiko Tinggi
ATM Kondom yang terbengkalai dan gagalnya sosialisasi kondom
Sebanyak 8 unit condom vending machine atau yang disebut ATM Kondom, teronggok hingga berdebu di sudut gudang BKKBN Jabar. Mesin penjualan kondom ini sebagian besar masih tersimpan di dalam dus, belum pernah dibuka sama sekali.ATM Kondom tersebut disalurkan oleh BKKBN Pusat ke Provinsi Jawa Barat pada 2005. Tujuannya, agar warga pengguna mudah mendapatkannya.Tadinya ATM Kondom direncanakan akan dipasang di sejumlah titik di Kota Bandung, seperti di kantor-kantor yang banyak pekerja prianya serta di lokalisasi.Namun, baru dua unit yang dipasang, masyarakat termasuk MUI Jawa Barat keras menolak. Rencana pemasangan ATM Kondom pun kemudian dibatalkan."Katanya, BKKBN menghalalkan hubungan pranikah. Tidak," ungkap Teguh Santosa."Artinya gini, yang sudah ada kasus (HIV), jangan sampai tambah baru. Nah ini, dengan cara menggunakan ATM Kondom, jadi mudah. Karena untuk mendapatkan kondom, bukan hal yang mudah buat suami. Kalau mau beli di toko, nyari momen agak sepi," imbuhnya.MUI Jabar berpandangan lain. Ketua MUI Jabar, Rachmat Safe'i, mengatakan pemasangan ATM Kondom memudahkan kaum muda yang belum menikah untuk mendapatkan kondom yang mengarah ke prilaku zina.Rachmat tidak setuju pemasangan ATM Kondom dan sosialisasi penggunaan kondom secara meluas meski dengan alasan kesehatan."MUI tidak setuju karena bisa mendorong untuk berbuat yang menyimpang dari prinsip agama. Memberikan suatu alat untuk menjaga kesehatan, tapi umumnya dipakai dalam perbuatan zina, menurut agama tentu dilarang," kata Rachmat Safe'i.Pencegahan penularan virus HIV, lanjut Rachmat, bisa dicegah dengan tidak melakukan perzinaan dan berhubungan seks hanya dengan pasangan sah."Justru kalau misalnya mengurangi kasus HIV dengan cara yang tidak sah, akan terjadi kerusakan di masyarakat. Sehat tapi rusak akhlaknya, tidak bisa begitu," ujar Rachmat.Ada lebih dari 32 ribu kasus HIV dan hampir 10 ribu kasus AIDS di Jawa Barat dari tahun 1989 hingga akhir 2017, menempatkan Jabar di posisi ke-6 jumlah kasus HIV/AIDS terbanyak di seluruh Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar