Rabu, 26 Juni 2019

Indonesia Targetkan Produksi Mobil Listrik dalam Lima Tahun

Peluncuran mobil listrik Garuda UNY oleh Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir, Jumat, 21 Juni 2019. (Foto: Humas Universitas Negeri Yogyakarta)

Mobil listrik semakin populer di dunia. Meski masih kalah bersaing dengan mobil berbahan bakar fosil yang telah mapan teknologinya. Indonesia ingin menjadi bagian dari masa depan alat transportasi ini, dengan mendorong riset dan sektor industri.
Sebuah mobil listrik dua penumpang diperkenalkan di Yogyakarta, Jumat (21/6) malam dalam sebuah acara yang meriah. Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Ristek Dikti) Mohammad Nasir datang langsung untuk meluncurkannya. Mobil ini bernama Garuda UNY, yang diambil dari nama perguruan tinggi pengembangnya, Universitas Negeri Yogyakarta.
Masih banyak yang harus disempurnakan, meski mobil ini sudah melenggang dalam uji coba di jalanan kampus setempat. Ade Herlambang, Ketua Tim Mobil Listrik Garuda UNY mengatakan, tantangan besarnya ada di motor dan baterai. Untuk menekan biaya, mobil ini belum menggunakan baterai lithium, seperti yang biasa dipakai mobil keluaran produsen besar.
“Kenapa kami tidak menggunakan baterai lithium? Karena asumsi kita, lithium memang daya tahannya lebih baik, tetapi biaya produksinya akan lebih mahal. Baterai lithium dari perhitungan kami bisa sampai Rp 25 juta, dengan aki kering kami hanya menghabiskan Rp 6 juta. Tetapi ke depan, rencana kita memang akan menggunakan baterai lithium, karena daya tahannya lebih baik,” kata Ade.
Proses produksi purwarupa mobil listrik Garuda UNY. (Foto: Ade Herlambang)
Proses produksi purwarupa mobil listrik Garuda UNY. (Foto: Ade Herlambang)
Perlu Satu Tahun Untuk Wujudkan “Garuda UNY”
Ade dan 20 anggota tim membutuhkan waktu satu tahun untuk mewujudkan mimpi memproduksi Garuda UNY. Dirintis sejak April 2018, tim membutuhkan 4 bulan membuat rancangan. Menyusul kemudian rangka dan kaki-kaki yang memakan waktu hingga Desember 2018. Secara utuh, mobil ini akhirnya bisa berfungsi pada Mei 2019. Dana yang dibutuhkan untuk mobil riset ini Rp 150 juta.
Melihat prospeknya, Ade meyakini mobil listrik akan menggantikan mobil berbahan bakar fosil suatu saat nanti. Karena itu, Indonesia harus memulai riset dan pengembangannya dari sekarang. Kemenrintek Dikti bisa menjembatani perguruan tinggi dengan industri. Untuk mengembangkan mobil listrik, kata Ade, Indonesia harus mengembangkan teknologi baterai.
Komponen Lokal Terus Digenjot
Ade mengakui, Indonesia belum memiliki cukup banyak rintisan proyek mobil listrik. Padahal ada cukup banyak potensi untuk menekan komponen impor. Dalam catatan Ade, Garuda UNY menggunakan 90 persen material dalam negeri. “Untuk impor terutama pada motor listrik, karena kemampuan kita masih kurang. Selain itu controller motor listrik, yaitu bagian untuk mengolah data motor listrik itu,” tambah Ade.
Soal baterai tadi memang menjadi hambatan berarti. Garuda UNY masih terbatas beroperasi maksimal dalam durasi 2 jam atau jarak 60 kilometer. Untuk mengisi daya baterai kembali, dibutuhkan waktu 1,5 jam hingga penuh.
Menristek Mohammad Nasir meninjau produksi baterai lithium di kampus Universitas Sebelas Maret, 31 Mei 2019. (Foto: BKKP Kemenristek Dikti)
Menristek Mohammad Nasir meninjau produksi baterai lithium di kampus Universitas Sebelas Maret, 31 Mei 2019. (Foto: BKKP Kemenristek Dikti)
Tantangan dalam riset baterai dan motor untuk mobil listrik ini juga diakui Menristek Dikti, Mohammad Nasir. Indonesia berharap sudah memiliki mobil listrik yang diproduksi sendiri pada 2025 nanti. Karena itulah, kementeriannya terus mendorong riset perguruan tinggi dan kolaborasi dengan industri. Riset dibutuhkan untuk mengatasi masalah suku cadang, terutama baterai, sehingga Indonesia mampu menghadirkan industri penghasil komponen sendiri.
“Yang jadi masalah di mobil listrik adalah baterai. Karena baterai memegang peran 30-35 persen dari total cost. Ini cukup signifikan nilainya. Karena itu, riset di bidang baterai kita kembangkan terus. Sementara yang sudah berjalan adalah Universitas Sebelas Maret. Kalau nanti di Morowali dan Halmahera sudah jadi, baterai itu sudah lokal dari Indonesia. Ini akan menghemat harga mobil listrik,” kata Nasir.
Indonesia Targetkan Produksi Mobil Listrik dalam Lima Tahun
No media source currently available
0:002:500:00
 Unduh 
Nasir mengaku baru saja memberikan paraf persetujuan untuk Peraturan Presiden terkait insentif bagi industri yang memproduksi motor dan mobil listrik. Sektor ini akan menerima fasilitas yang disebut sebagai 'super tax deduction.' Ini adalah pengurangan pajak berlipat bagi industri baru yang menggunakan kendaraan listrik. Nasir berharap kebijakan ini berjalan baik, sehingga beban biaya riset industri dapat dikembalikan melalui skema pengurangan pajak tersebut.
Baterai, Kunci Pengembangan Mobil Listrik
Dalam keterangan resmi yang disampaikan ke media, Kemenristek telah menargetkat Indonesia bisa memproduksi baterai lithium mandiri pada tahun 2022. Diyakini, kebutuhan baterai lithium akan semakin meningkat, seiring naiknya industri motor listrik dan mobil listrik di Indonesia. Indonesia tengah mengembangkan teknologi pemrosesan bahan baku lithium di Halmahera, Maluku.
Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo dipercaya untuk mengembangkan riset mengenai baterai lithium sejak 2012. Nasir berharap, baterai lithium UNS mampu memenuhi kebutuhan industri motor listrik nasional yang baru tumbuh, yaitu motor listrik GESITS.
“Kompetitor harganya Rp 60 juta, GESITS hanya Rp 23 juta, baterai menjadi tumpuan karena menyerap 30 persen biaya produksi. Tepat sekali UNS mengembangkan baterai lithium dan saat ini masuk industri,” papar Nasir.
Riset dan produksi baterai lithium di Universitas Sebelas Maret menjadi bagian strategi nasional mobil listrik. (Foto: BKKP Kemenristek Dikti)
Riset dan produksi baterai lithium di Universitas Sebelas Maret menjadi bagian strategi nasional mobil listrik. (Foto: BKKP Kemenristek Dikti)
Menurut keterangan Rektor UNS, Jamal Wiwoho, pengembangan produksi baterai lithium ini dilakukan bekerja sama dengan Pertamina
Awal tahun ini, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan meresmikan pembangunan pabrik milik PT QMB New Energy Materials. Perusahaan ini merupakan kerja sama Cina, Indonesia dan Jepang. Perusahaan ini merintis produksi baterai lithium di Indonesia Morowali Industrial Parak, Sulawesi Tengah. Nilai investasi yang dicatatkan mencapai 700 juta dollar AS.
Pabrik ini akan memproduksi material energi baru dari nikel laterit, sebagai bahan baku baterai lithium generasi kedua. Upaya Indonesia memproduksi sendiri baterai lithium, menjadi bagian strategi peta jalan pengembangan industri otomotif nasional. Tahun 2025, pemerintah menargetkan 400 ribu dari 2 juta unit produksi kendaraan pertahun berbasis elektrik.
100 Miliar Per Tahun Untuk Dorong Riset Mobil Listrik
Kemenristek Dikti sendiri menganggarkan dana hingga Rp 100 miliar pertahun untuk mendorong riset di bidang mobil listrik. Lima perguruan tinggi, yaitu UI, ITB, UGM, ITS dan UNS menjadi tulang punggung program ini, sementara sejumlah perguruan tinggi lain sebagai pendukung. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) akan didorong untuk ambil bagian terutama dalam produksi komponen. Di samping itu, swasta juga akan sepenuhnya dilibatkan.
“Kalau kita hanya sendiri, dari pemerintah, tidak mungkin. Produsennya pasti dari swasta. Yang penting bagaimana insentif diberikan kepada industri. Ada tiga pihak terlibat, yaitu peneliti atau akademisi, pemerintah dan industri, baik swasta murni maupun BUMN,” tambah Nasir di Yogyakarta.
Rektor UNY Sutrisna Wibawa, mengatakan mobil listrik ini merupakan riset terbaru di UNY dan telah menerima sejumlah pernghargaan. “Salah satunya rekor Asia tahun lalu, dalam bidang ketahanan baterai yang mampu menempuh jarak 283 kilometer. Tahun ini, Garuda juga berhasil meraih juara dua dalam Shell Eco Competition Asia Pasifik,” ujar Sutrisna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar