Kasus kejahatan seksual terhadap anak alias pedofilia kembali menyeruak setelah polisi menangkap seorang pemuda di Jambi. Dia diduga melakukan kekerasan seksual melalui media sosial Instagram terhadap 87 anak laki-laki berusia 15-17 tahun.
Kasus ini membuka mata bahwa kekerasan seksual terhadap anak masih marak terjadi. Kali ini, bahkan muncul dengan modus baru menggunakan dunia maya.
Salah satu faktor banyaknya terjadi kekerasan seksual terhadap anak adalah karena kurangnya pemahaman. Anak-anak dianggap kurang mengetahui bentuk kekerasan seksual."Supaya terhindar, anak-anak harus terus diberikan pemahaman agar mereka sadar dan tahu bahwa itu adalah kekerasan seksual, bentuknya seperti apa, pelakunya seperti apa," kata Manager Advokasi Plan Internasional Indonesia Nadira Irdiana di Jakarta, Rabu (21/3). Plan Internasional merupakan organisasi yang salah satu fokusnya memberikan perlindungan untuk anak.Menurut Nadira, anak-anak harus diberi tahu bahwa sesuatu yang berkaitan dengan perlakuan seksual yang tidak diinginkan merupakan bentuk dari kekerasan seksual. Termasuk hal yang paling sederhana seperti bersiul menggoda.
"Misalnya sedang jalan, lalu ada yang bersiul itu sudah sudah bagian dari pelecehan seksual," ucap Nadira.
Nadira menjelaskan umumnya para perilaku pelecehan seksual banyak memulai tindakannya dengan memberikan lelucon berkaitan dengan seksual. Jika lelucon itu dibiarkan, besar kemungkinan bakal menjadi kekerasan seksual.
"Paling banyak kekerasan seksual itu berawal dari lelucon seksis yang dibiarkan lama-lama jadi bahaya. Ia bisa berkembang dan menjadi kekerasan bahkan pembunuhan," ucap Nadira.
Selain itu, kekerasan seksual juga bisa dimulai dari penglihatan. Menurut Nadira, pelaku biasanya bakal menatap calon korban di bagian yang tidak semestinya seperti dada atau kemaluan dalam waktu yang lama.
"Bisa juga sering melihat ke arah yang tidak semestinya," ujar Nadira.Sementara itu terkait perilaku kekerasan di ranah online, Nadira mengaku Plan masih melakukan penelitian lebih lanjut.
"Ini sesuatu yang cukup baru dan kami sedang membuat riset untuk mengetahui kebiasaan yang dilakukan anak-anak perempuan dan laki-laki di internet dan media sosial," kata Nadira.
Pendapat yang sama juga diutaran Deputi Bidang Pengembangan Pemuda Kemenpora Asrorun Niam Sholeh. Menurutnya, regulasi mesti diperbaharui agar dapat mencakup ranah kekerasan online
"Saat ini transformasi kejahatan dari offline ke online sudah berkembang, sementara regulasi belum cukup. Perlu ada regulasi supaya bisa mencegah kekerasa tapi mendorong tumbuh kembang anak," kata Asroron.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar